RSS

cerpen "malaikat"

Malaikat Aku hanya duduk di sana, mengamati seekor burung bertampang aneh dari jendela. Burung itu sedang mandi di jalan masuk, yang penuh genangan air akibat hujan deras semalam. Aku berpikir, bagaimana kalau aku seekor burung? Kemana aku akan pergi? Apa yang akan kulakukan? Tentu saja, aku tahu hal itu mustahil, apalagi sekarang. Aku hanya duduk di sini, melihat hidupku bergulir lewat, detik demi detik, menit demi menit. Aku tahu seharusnya aku melakukan sesuatu yang produktif, misalnya mengerjakan PR, tapi aku merasa seolah tugasku adalah mengamati burung aneh itu. Lalu burung itu terbang pergi, dan aku menoleh melihat TV menonton sebuah program tentang petualangan. Sekolah hampir selesai, tapi aku tak ada di sana. Aku sakit, dikeram di dalam kamar karena flu, dikeram di bawah selimut ini. Di luar hari sangat indah, dan aku merasa sangat sakit. Aku merasa seperti sedang melayang jatuh (sesuatu yang mustahil, tapi aku tetap merasakannya). Kepalaku berputar-putar, seperti orang pusing tujuh keliling. Otakku mulai berdebam-debam, seolah seseorang sedang memukuli tengkorak kepalaku dengan martil. Matahari bersinar cerah, tapi tidak membantu, malah memperburuk perasaanku. Aku sembunyi di bawah selimut. Hanya kali inilah aku merasa matahari adalah hal yang buruk. Sekarang perutku mulai terasa sakit, sehingga aku pindah dari kursi ke kamar untuk berbaring di ranjangku. Meski otakku sakit, aku mulai berpikir. Kubiarkan khalayanku melayang. Aku berpikir betapa jauh lebih mudah mengetuk-ngetukkan kaki mengikuti irama lagu jazz daripada lagu rock. Aku berpikir betapa lamanya satu hari terasa kalau kita sedang bosan, tapi kalau kita melakukan sesuatu yang menyenangkan, waktu seperti terbang. Aku berpikir betapa mereka memaksa kita bersekolah selama tujuh jam, lalu mengharapkan kita mengerjakan PR selama tiga jam setiap malam dan menjalani ulangan IPA atau sejarah keesokan harinya. Aku mulai bermimpi – atau tepatnya melamun – makin dalam. Aku makin tenggelam dalam khayalanku. Kadang bayangan seorang malaikat muncul di kepalaku. Seperti apa rupa mereka? Apakah mereka punya sayap emas? Apakah mereka hidup pada saat ini, bukan di masa lalu atau masa depan? Apakah mereka ringan? Entah kenapa aku tak bisa berhenti membayangkan mereka. Bisakah seorang manusia menjadi malaikat setelah meninggalkan dunia fana? Menurut teman-temanku tidak, tapi menurut kakekku adalah malaikat pelindung nenekku. Aku mengambil selembar kertas dan mulai menggambar apa yang menurutku sosok seorang malaikat. Hasilnya menunjukkan seorang malaikat yang rambutnya kuning keemasan seperti matahari, dan sayap emas yang membentang dari tubuhnya supaya ia bisa menyentuh hati semua orang. Di wajahnya tersungging senyuman dan tubuhnya mengenakan jubah putih bersih. Sebuah lingkaran halo terdiri atas bintang-bintang melayang di atas kepalanya. Gambar itu membuatku tersenyum, dan aku merasa agak lebih baik. Hari esok akan lebih baik, pikirku. Dan aku terlelap. “Ada orang di rumah?“ menyapaku ketika aku terjaga. “Hai, Ibu,” jawabku. “Bagaimana rasanya?” ia bertanya. “Enakan.” Ibu tetap bersikeras membuatkanku sup ayam. Ibu memang tahu cara membuatku merasa lebih baik saat sedang sakit. Seolah ia ingin mengambil penyakitku dan memberikannya pada dirinya sendiri jika ia bisa. Itulah gunanya Ibu, selalu ada mendampingi kita. Para Ibu tidak suka melihat anak-anak mereka menderita, meski penyebabnya hanya virus flu kecil. Aku tidak perlu tahu seperti apa rupa malaikat, pikirku, aku sudah tahu. Malaikat adalah Ibuku. Senyumnya adalah sinar yang menerangi ruangan gelap di hidupku. Dan perhatiannya menyentuh hatiku. Ibu adalah malaikatku yang selalu menjagaku. Terima kasih, Ibu.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS